Minggu, 14 Juni 2009

FRAKTUR

DEFINISI

fraktur adalah pemisahan atau robekan pada kontinuitas tulang yang terjadi karena adanya tekanan yang berlebihan pada tulang dan tulang tidak mampu untuk mrnahannya.

ETIOLOGI

Etiologi Fraktur ada dua jenis, yaitu :
1. Trauma langsung, yaitu : fraktur yang terjadi karena mendapat rudapaksa, misalnya benturan atau pukulan yang mengakibatkan patah tulang.
2. Trauma tidak langsung, yaitu : bila fraktur terjadi, bagian tulang mendapat rudapaksa dan mengakibatkan fraktur lain disekitar bagian yang mendapat rudapaksa tersebut dan juga karena penyakit primer seperti osteoporosis dan osteosarkoma.

Dari etiologi yang dapat menyebabkan fraktur dibagi menjadi dua yaitu fraktur tertutup dan frkatur terbuka.

Pada fraktur tertutup akan terjadi kerusakan pada kanalis havers dan jaringan lunak diarea fraktur, akibat kerusakan jaringan tersebut akan terbentuk bekuan darah dan benang-benang fibrin serta hematoma yang akan membentuk jaringan nekrosis. Maka terjadilah respon informasi informasi fibroblast dan kapiler-kapiler baru tumbuh dan membentuk jaringan granulasi. Pada bagian ujung periosteum-periosteum, endeosteum dan sumsum tulang akan mensuplai osteoblast, kemudian osteoblast berproliferasi membentuk fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa. Selanjutnya akan dibentuk fiber-fiber kartilago dan matriks tulang yang menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak, sehingga terjadi osteogenesis dengan cepat sampai terbentuknya jaringan granulasi.

pada fraktur terbuka terjadi robekan pada kulit dan pembuluh darah, maka terjadilah perdarahan, darah akan banyak keluar dari ekstra vaskuler dan terjadilah syok hipovolemik, yang ditandai dengan penurunan tekanan darah atau hipotensi syok hipovolemik juga dapt menyebabkan cardiac output menurun dan terjadilah hipoksia. Karena hipoksia inilah respon tubuh akan membentuk metabolisme an aerob adalah asam laktat, maka bila terjadi metabolisme an aerob maka asam laktat dalam tubuh akan meningkat.

KLASIFIKASI FRAKTUR

Fraktur di klasifikasikan sebagai berikut :
1) Fraktur tertutupMerupakan fraktur tanpa komplikasi dengan kulit tetap utuh disekitar fraktur tidak menonjol keluar dari kulit.
2) Fraktur terbukaPada tipe ini, terdapat kerusakan kulit sekitar fraktur, luka tersebut menghubungkan bagian luar kulit. Pada fraktur terbuka biasanya potensial untuk terjadinya infeksi, luka terbuka ini dibagi menurut gradenya

Grade I : luka bersih, kurang dari 1 Cm
Grade II : luka lebih luas disertai luka memar pada kulit dan otot
Grade III : paling parah dengan perluasan kerusakan jaringan lunak terjadi pula kerusakan pada pembuluh darah dan syaraf.3) Fraktur komplitPada fraktur ini garis fraktur menonjol atau melingkari tulang periosteum terganggu sepenuhnya.
4) Fraktur inkomplitGaris fraktur memanjang ditengah tulang, pada keadaan ini tulang tidak terganggu sepenuhnya.
5) Fraktur displacedFragmen tulang terpisah dari garis fraktur.
6) Fraktur ComminutedFraktur yang terjadi lebih dari satu garis fraktur, dan fragmen tulang hancur menjadi beberapa bagian (remuk).
7) Fraktur impacted atau fraktur compressiTulang saling tindih satu dengan yang lainnya. Fraktur PatologisFraktur yang terjadi karena gangguan pada tulang serta osteoporosis atau tumor.
9) Fraktur greenstickPada fraktur ini sisi tulang fraktur dan sisi tulang lain bengkak.
b. Proses Penyembuhan Tulang1) Fase formasi hematon (sampai hari ke-5)Pada fase ini area fraktur akan mengalami kerusakan pada kanalis havers dan jaringan lunak, pada 24 jam pertama akan membentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area fraktur meningkat, kemudian akan membentuk hematoma sampai berkembang menjadi jaringan granulasi.2) Fase proliferasi (hari ke-12)Akibat dari hematoma pada respon inflamasi fibioflast dan kapiler-kapiler baru tumbuh membentuk jaringan granulasi dan osteoblast berproliferasi membentuk fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, akan selanjutnya terbentuk fiber-fiber kartilago dan matriks tulang yang menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak sehingga terjadi osteogenesis dengan cepat.3) Fase formasi kalius (6-10 hari, setelah cidera)Pada fase ini akan membentuk pra prakulius dimana jumlah prakalius nakan membesar tetapi masih bersifat lemah, prakulius akan mencapai ukuran maksimal pada hari ke-14 sampai dengan hari ke-21 setelah cidera.4) Fase formasi kalius (sampai dengan minggu ke-12)Pada fase ini prakalius mengalami pemadatan (ossificasi) sehingga terbentuk kalius-kalius eksterna, interna dan intermedialis selain itu osteoblast terus diproduksi untuk pembentukan kalius ossificasi ini berlangsung selama 2-3 minggu. Pada minggu ke-3 sampai ke-10 kalius akan menutupi tulang.5) Fase konsolidasi (6-8 Bulan) dan remoding (6-12 bulan)Pengkokohan atau persatuan tulang proporsional tulang ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalius tulang akan mengalami remodering dimanaosteoblast akan membentuk tulang baru, sementara osteoklast akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyeruapai keadaan tulang yang aslinya.

TANDA DAN GEJALA

1.tekan : karena adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah.
2. Bengkak dikarenakan tidak lancarnya aliran darah ke jaringan.
3. Krepitus yaitu rasa gemetar ketika ujung tulang bergeser.
4. Deformitas yaitu perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
5. Gerakan abnormal, disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal disebabkan tidak tetapnya tulang karena fraktur.
6. Fungsiolaesa/paralysis karena rusaknya syaraf serta pembuluh darah.
7. Memar karena perdarahan subkutan.
8. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otot-otot involunter.
9. Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau tertekan oleh cedera, perdarahan atau fragmen tulang.

Malunion : Fraktur sembuh dengan deformitas (angulasi, perpendekan/rotasi)
Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari normal.
Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung yang juga disebut pseudoarthritis, nonunion yaitu terjadi karena penyambungan yang tidak tepat, tulang gagal bersambung kembali.

PENATALAKSANAAN

a. Medis1) TraksiSecara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstreminasi klien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu tarikan tulang yang patah. Kegunaan traksi adalah antara lain mengurangi patah tulang, mempertahankan fragmen tulang pada posisi yang sebenarnya selama penyembuhan, memobilisasikan tubuh bagian jaringan lunak, memperbaiki deformitas.Jenis traksi ada dua macam yaitu : Traksi kulit, biasanya menggunakan plester perekat sepanjang ekstremitas yang kemudian dibalut, ujung plester dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya menggunakan katrol dan beban. Traksi skelet, biasanya dengan menggunakan pin Steinman/kawat kirshner yang lebih halus, biasanya disebut kawat k yang ditusukan pada tulang kemudian pin tersebut ditarik dengan tali, katrol dan beban.2) ReduksiReduksi merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk memperbaiki kesejajaran dan mengurangi penekanan serta merenggangkan saraf dan pembuluh darah.Jenis reduksi ada dua macam, yaitu : Reduksi tertutup, merupakan metode untuk mensejajarkan fraktur atau meluruskan fraktur, dan Reduksi terbuka, pada reduksi ini insisi dilakukan dan fraktur diluruskan selama pembedahan dibawah pengawasan langsung. Pada saat pembedahan, berbagai alat fiksasi internal digunakan pada tulang yang fraktur.

b. FisiotherapiAlat untuk reimobilisasi mencakup exercise terapeutik, ROM aktif dan pasif. ROM pasif mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan ROM normal pada sendi. ROM dapat dilakukan oleh therapist, perawat atau mesin CPM (continous pasive motion).ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot.

ASUHAN KEPERAWATAN

1.demografi : identitas klienRiwayat kesehatan sekarang : kejadian yang mengalami cidera.Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat penyakit DM, TB, arthritis, osteomielitis, dan lain-lain.Riwayat imunisasi : Polio, Tetanus.Aktivitas/istirahat : keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena, deformitas, pembengkakan jaringan, nyeri.Sirkulasi : peningkatan tekanan darah (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas).Penurunan tekanan darah sebagai respon dari perdarahan.Takikardi sebagai respon dari stress dan hipovolemia.Pengisian kapiler lambat, sianosis, edema, denyut nadi distal lambat.Neurosensori : hilang sensasi, spasme otot, kesemutan, kelemahan, nyeri.Integumen, laserasi, perdarahan edema, perubahan warna kulit.Sistem otot : kekuatan gerak koordinasi.Pemeriksaan diagnostic.Pemeriksaan ronthgen menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.Scan tulang, tomogram, scan ct, MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.Hitung darah lengkap : HT, mungkin meningkat (hemoton sentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan leukosit adalah respon stress normal setelah trauma.

2. Diagnosa KeperawatanRumusan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur multiple menurut doengoes adalah : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan trauma jalan nafas, resiko gangguan nutrisi tulang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologi (perubahan structual), nyeri berhubungan dengan spasme otot, edema, cidera jaringan lunak, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular, resiko tinggi gangguan integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksipen, kawat dan sekrup, kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan kawat dirahang, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak ada kuatnya pertahanan primer. Anxietas berhubungan dengan krisi situasi, kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan, berhubungan dengan kurang informasi.

3. PerencanaanBerdasarkan diagnosa keperawtan secara teoritis, maka rumusan perencanaan keperawatan pada klien dengan gangguan sytem musculo skeletal fraktur adalah sebagai berikut.a. Diagnosa Pertama(tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan trauma jalan nafas). Tujuan yang ingin dicapai adalah bersihan jalan nafas efektif. Intervensi : yang akan dilakukan adlah, tinggikan tempat tidur30 derajat, observasi frekuensi/irama pernafasan, observasi adanya batuk, wheezing dan edema, observasi tanda-tanda vital. Auskultasi bunyi nafas, ajarkan tekhnik nafas dalam, ubah posisi secara periodic, berikan minum2-3 liter/hari dam kolaborasi dalam pemberian oksigen.b. Diagnosa Kedua(resiko tinggi trauma berhubungan denganhilangnya integritas tulang/fraktur). Tujuan yang akan dicapai adalah klien terhindar dari trauma. Intervensi yang akan dilakukan adalah pertahanan traksi baring sesuai indikasi letakan papan dibawah tempat tidurortopedik, pertahanan posisi netral pada bagian, fraktur dengan bantal, anjurkan klien menghindari untuk beban yang berat, kolaborasi dengan tim medis lain, rinthgen.c. Diagnosa Ketiga(resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasangan kawat di rahang). Tujuan yang akan dicapai adalah gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi. Intervensi yang akan dilakukan adalah, timbang berat badan setiap hari, berikan air minum hangat bila mual, anjurkan klien bersandar bila makan atau minum, anjurkan makan dengan sedotan berikan makan sedikit tapi sering dengan konsistensi yang sesuai, hindari suhu extreme. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.d. Diagnosa keempat(gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot). Tujuan yang akan dicapai adalah nyeri berkurang. Intervensi yang akan dilakukan adalah kaji karakteritik nyeri, lokasi dan intensitas (skala 0-10). Perrtahankan mobilisasi tirah baring, tinggikan bagian ekstremitas yang nyeri, beri kompres dingin, observasi tanda-tanda vital (TD,N,S,RR). Ajarkan tekhnik relaksasi, kolaborasi dengan dokter dalampemberian therapy analgetik.e. Diagnosa kelima(Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan kerangka neuromuskuler). Tujuan yang akan dicapai adalah klien mampu bermobilisasi secara bertahap. Intervensi yang akan dilakukan adalah kaji tingkat mobilitas klien, bantu klien dalam mobilisasi, ukur TD setelah aktivitas, bantu klien dalam gerakan pada ekstremitas yang sakit dan tidak sakit, anjurkan klien untuk gerakan pada ekstremitas yang tidak nyeri, kolaborasi dengan tim medis lain : fisiotherapy.f. Diagnosa keenam(resiko tinggi integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat dan sekrup). Tujuan yang akan dicapai adalah gangguan integritas kulit teratasi. Intervensi yang akan dilakukan adalah kaji keadaan luka (adanya tanda-tanda infeksi). Pertahankan tempat tidur kering dan bebas dari kerutan, rubah posisi akan setiap 2 jam sekali, lakukan perawatan luka, observasi daerah yang terpasang balutan, libatkan keluarga dalam perawatan luka.g. Diagnosa ketujuh(Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan kawat pada rahang). Tujuan yang akan dicapai adalah klien dapat berkomunikasi, dengan baik. Intervensi yang akan dilakukan adalah : tentukan luasnya ketidak mampuan berkomunikasi, berikan pilihan cara berkomunikasi, validasi upaya arti komunikasi, antisipasi kebutuhan, tempatkan catatan didekat klien.h. Diagnosa kedelapan(resiko tiggi infeksi berhubungan dengan tidak ada kuatnya pertahan primer). Tujuan yang akan dicapai adalah infeksi tidak terjadi. Intervensi yang akan dilakukan adalah kaji kulit apakah terdapat iritasi atau robekan kontinuitas jaringan observasi tanda-tanda vital, terutama suhu, observasi tanda-tanda infeksi, lakukan perawatan luka secara septic dan antiseptic, kaji balutan luka kolaborasi dengan tim medis lain : laboratorium dalam pemeriksaan darah (LED dan leukosit), kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic.i. Diagnosa kesembilan(Anxietas berhubungan dengan krisis situasi). Tujuan yang akan dicapai adalah klien tidak cemas lagi. Intervensi yang akan dilakukan adalah diskusikan tindakan keamanan, bantu mengekspresikan ketakutan, bantu untuk mengakui kenyataan, termasuk marah, beri penjelasan tentang peubahan wajah, berikan cermin bila pasien menghendaki, ajarkan tekhnik manajemen stress.j. Diagnosa kesepuluh(Kurang pegetahuan tentang kondisi prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi). Tujuan yang akan dicapai adalah pengetahuan klien akan bertambah. Intervensi yang akan dilakukan adalah kaji sejauh mana tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya, beri pendidikan kesehatan tentang penyakitnya, beri reinfoercement positif jika klien menjawab dengan cepat, pilih berbagai strategi belajar seperti : tekhnik ceramah, tanya jawab dan demonstrasikan dan tanyakan apa yang tidak diketahui klien.

Rabu, 03 Juni 2009

S I N U S I T I S

PENDAHULUAN
· Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum
· Prevalensi
Sebagian besar infeksi virus penyebab pilek seperti common cold dapat menyebabkan suatu sumbatan pada hidung, yang akan hilang dalam beberapa hari. Namun jika terjadi peradangan pada sinusnya dapat muncul gejala lainnya seperti nyeri kepala dan nyeri tekan pada wajah
Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal. Sinusitis mungkin hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa pengobatan yang adekuat(2).
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia dengan cara lain.
Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik. Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung, drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya.
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus paranasalis hanyalah sebagian dari sistem pernapasan total. Penyakit yang menyerang bronkhus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasalis. Penting untuk diingat saat masing-masing sinus berkembang pada masa kanak-kanak dan remaja, dan kemudian saat sinus-sinus tersebut menjadi rentan infeksi. Sinus maksilaris dan ethmoidalis sudah terbentuk sejak lahir dan biasanya hanya kedua sinus ini yang terlibat dalam sinusitus dimasa kanak-kanak. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 12 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Sinusitis frontalis akut biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Pada sekitar 20 % populasi, sinus frontalis tidak ditemukan atau rudimenter dan karenanya tidak mempunyai makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami prematurisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau awal usia dua puluhan. Dengan mengetahui gejala klinis dari sinusitis diharapkan dapat ditegakkan diagnosis sejak dini dengan penanganan yang tepat.
Anatomi Sinus
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung
sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
Fungsi sinus paranasal adalah :
- Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
- Sebagai pengatur udara (air conditioning).
- Peringan cranium.
- Resonansi suara.
- Membantu produksi mukus.
Sinus Maksilaris
- Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.
- Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
- Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.
- Berhubungan dengan :
a. Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
b. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.
c. Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
Sinus Ethmoidalis
- Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
- Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.
- Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata
- Berhubungan dengan :
a. Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).
b. Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.
c. Nervus Optikus.
d. Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
C. Sinus Frontalis
- Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
- Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
- Volume pada orang dewasa ± 7cc.
- Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
- Berhubungan dengan :
a. Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
b. Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
c. Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
Sinus Sfenoidalis
- Terbentuk pada fetus usia bulan III.
- Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis.
- Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
- Berhubungan dengan :
a. Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
b. Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
c. Tranctus olfactorius.
d. Arteri basillaris brain stem (batang otak).

PEMBAHASAN
· Etiologi
1. Sebab-sebab lokal
Sebab lokal sinusitis supurativa :
- Patologi septum nasi seperti deviasi septum.
- Hipertrofi konka media.
- Benda asing di hidung seperti tampon, rinolith, material yang terinfeksi seperti air terinfeksi yang berkontak selama berenang atau menyelam.
- Polip nasi.
- Tumor di dalam rongga hidung.
- Rinitis alergi dan rinitis kronik.
- Polusi lingkungan, udara dingin dan kering.
2. Faktor-faktor predisposisi regional.
Faktor regional yang paling lazim untuk berkembangnya sinusitus ialah:
- Khususnya sinisitus maksilaris meliputi gigi geligi yang buruk, karies gigi atau abses apikal. Gigi-gigi premolar atau molar yang sering terkena karena gigi geligi tersebut didekat dasar sinus maksilaris.
- Sinusitus rekuren dapat disebabkan oleh obstruksi nasofaring seperti tumor ganas, radiasi kobalt disertai radionekrosis atau hipertrofi adenoid juga tumor-tumor palatinum jika ada perluasan regional.

3. Faktor-faktor sistemik.
Faktor-faktor sistemik yang mempredisposisi perkembangan rinosinusitis ialah :
- Keadaan umum yang lemah, seperti malnutrisi.
- Diabetes yang tidak terkontrol.
- Terapi steroid jangka lama.
- Diskrasia darah.
- Kemoterapi dan keadaan depresi metabolisme
· Patogenesis
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drenase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen(7).
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista(7). Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum. Sedangkan permukaannya kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi ; (2) Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik ; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4) Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.
Pada sinusitus kronik perubahan permukaan mirip dengan peradangan akut supuratif yang mengenai mukosa dan jaringan tulang lainnya. Bentuk permukaan mukosa dapat granular, berjonjot-jonjot, penonjolan seperti jamur, penebalan seperti bantal dan lain-lain. Pada kasus lama terdapat penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada beberapa tempat akibat ulserasi, sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau dapat menjadi lunak atau kasar akibat karies. Pada beberapa kasus didapati nekrosis dan sekuestrasi tulang, atau mungkin ini telah diabsorpsi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bagian mukosa kadang-kadang memperlihatkan hilangnya epitel dan kelenjar yang digantikan oleh jaringan ikat. Ulserasi pada mukosa sering dikelilingi oleh jaringan granulasi, terutama jika ada nekrosis tulang. Jaringan granulasi dapat meluas ke periosteum, sehingga mempersatukan tulang dengan mukosa. Jika hal ini terjadi, bagian superfisial tulang diabsorpsi sehingga menjadi kasar. Osteofit atau kepingan atau lempengan tulang yang terjadi akibat eksudasi plastik, kadang-kadang terbentuk di permukaan tulang.
· Klasifikasi
Menurut Cauwenberg berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas :
- Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu.
- Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.
- Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan gejalanya disebut akut bila terdapat tanda-tanda radang akut, subakut bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel, dan kronik bila perubahan tersebut sudah irreversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau polipoid.



· Gejala dan Diagnosis
Sinusitis Akut
A. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain(3)
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga


Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada
2. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.


4. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya
B. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.
C. Terapi
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (7).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz(7).
Sinusitis Konis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
- Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
- Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba eustachius.
- Ada nyeri atau sakit kepala.
- Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
- Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
- Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
B. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.
D. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
5. Pungsi sinus maksilaris
6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.
7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.
8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso- endoskopi.
9. Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
f. Tumor
E. Terapi
Terapi untuk sinusitis kronis :
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
a. Radikal
- Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
b. Non Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
· Komplikasi Sinusitis
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
- Oftalmoplegia.
- Kemosis konjungtiva.
- Gangguan penglihatan yang berat.
- Kelemahan pasien.
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil

PEMBENTUKAN URIN

PEMBENTUKAN URINE
Glomerulus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada kapsula bowman, berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerulus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus, sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke ureter. Urine berasal dari darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Jumlah urine sekitar 900-1500 ml/24 jam, dengan komposisi air sekitar 96% dan bahan-bahan yang terlarut di dalamnya (elektrolit terutama natrium dan sisa metabolism terutama ureum, cyte dan erytrocite 1-2 buah/ lapangan pandang (ini noprmal). Pada penderita icterus adanya bilirubin dan uronilin yang menyebabkannya menjadi kuning. Ada tiga tahap pembentukan urine :
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan aferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh kapsula bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll yang diteruskan ke tubulus ginjal. Filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus pada kapsul Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga mempermudah proses penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses penyaringan adalah tekanan hidrolik dan permeabilitias yang tinggi pada glomerulus. Selain penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan.
Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada filtrat glomerulus masih dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya.
b. Proses reabsorpsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papilla renalis. Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal.
Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali.
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya ureum dari 0,03`, dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam urin sekunder.
Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam mino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimal dan tubulus distal.
3. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin. Sisa penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.
MIKTURASI
Mikturasi adalah proses pembuangan urine. Timbulnya refleks rasa ingin kecing bila tertimbun urine 200-300 ml dalam vesica urinaria. Kesukaran mikturasi biasanya disebabkan oleh :
1. BPH, yaitu pembesaran kelenjar prostat (sering terjadi pada pria diatas 50 tahun)
2. Batu urethra
3. Striktura urethra, urethra menyempit penuh jaringan parut bekas infeksi.
Proses miksi dimulai dari ginjal, ureter, vesica urinaria, uretra. Darah memasuki glomerulus aferen dan kemudian meningkat melalui arteriol aferen. Glomerulus merupakan jalinan dari 50 kapiler sejajar dan dilapisi oleh sel-sel epitel. Btekanan darah di dalam glomerulus menyebabkan cairan difiltrasikan ke dalam kapsula Bowman. Dari situ cairan tersebut mengalir ke dalam ansa henle, kemudian turun ke bawah medulla ginjal, sekitar 1/3- 1/5 menembus jauh ke dalam medulla. Bagian bawah ansa henle tersebut mempunyai dinding sangat tipis dan karena itu disebut segmen tipis ansa henle. Dari ansa henle, cairan tersebut megalir ke dalam tubulus distalis. Akhirnya cairan tersebut mengalir ke dalam tubulus (duktus) koligens yang mengumpulkan cairan dari beberapa nefron. Duktus koligen berjalan dari korteks kembali ke bawah melalui medulla, sejajar dengan ansa henle, kemudian ia bermuara ke dalam velvis ginjal.
Ketika filtrate glomerulus megalir melalui tubulus tersebut, kebanyakan air dan berbagai zat yang terlarut di dalamnya direabsorpsi ke kapiler, peritubulus, dan sejumlah kecil solute lain disekresikan ke dalam nobulus. Air dan solute tubulus yang tersisa menjadi urina
PEMBENTUKAN URINE
Pembentukan urine dihasilkan oleh filtrasi glomerulus, rearbsorpsi glomerulus, dan sekresi tubulus. Kecepatan sekresi berbagai zat dalam urine menunjukan jumlah ketiga proses ginjal. Dinyatakan secara matematis :
Kecepatan raksi urine = laju filtrasi – laju rearbsorpsi + laju sekresi
Pembentukan urine di mulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomerulus, kapsul Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, keculai untuk protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrate glomerulus dalam kapsula Bowman hampir sama dengan dalam plasma. Ketika cairan yang telah di filtrasi ini meninggalkan kapsula Bowman, dan mengalir melalui tubulus, cairan diubah oleh reabsorpsi air dan zat trerlarut spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh sekresi zat-zat lain dari kapile peri tubulus ke dalam tubulus.
KOMPOSISI FILTRAT GLOMERULUS
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan oleh kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Seperti kebanyakan caliper, kapiler glomerulus juga relative impermeable terhadap protein, sehingga cairan hasil filtrasi yang disebut filtrate glomerulus pada dasarnya bersifat bebas protein dan tidak mengandung elemen selular, termasuk sel darah merah. Konsentrasi unsure plasma lainnya, temasuk garam dan molekul organic yang terikat pada protein plasma seperi glukosa dan asam amino bersifat serupa baik dalam plasma maupun filtrate glomerulus, p;engecualian terhadap keadaan umum ini ialah zat dengan berat molekul rendah seperti kalsium dan asam lemak, yang tidak di filtrasi secara bebas Karena zat tersebut sebagian terikat pada protein plasma. Hampir semua dari kalsium plasma dan sebagian besar asam lemak plasma terikat pada protein dan bagian yang terikat ini tidak di filtrasi dari kapiler glomerulus. Cairan yang difiltrasikan melalui glomerulus ke dalam kapsula bowman disebut filtrate glomerulus. Lapisan pada membran glomerulus :
a. Lapisan endotel kapiler
b. Membran basalis
c. Lapisan sel epitel yang diilustrasikan pada permukaan luar kapiler glomerulus
GFR ( laju filtrat glomerulus)
GFR merupakan kira-kira 20% dari aliran plasma ginjal. Seperti pada kapiler lain GFR ditentukan oleh :
1. Keseimbangan kekuatan osmotic koloid dan hidro static yang bekerja melintasi membran kaliler.
2. Koefisien filtrasi kapiler (KF), hasil permialbilitas dan daerah filtrasi kapiler. Kapiler glomerulus mempunyai laju filtrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan banyak kapiler lainnya karena tekanan hidrostatik glomerulus yang tinggi dan KF yang besar.
Pada orang dewasa normal GFR rata-rata 125 ml/ menit, atau 180 L/ hari. Fraksi aliran plama renal yang difiltrasi rata-rata sekitar 0,2, ini menandakan bahwa kira-kira 20% plasma yang mengalir dari ginjal akan di filtrasi oleh kapiler glomerulus.fraksi filtrasi dihitung sebagai berikut :
Fraksi filtrasi = GFR / aliran plasma ginjal
Kemampuan filtrasi zat terlarut ditentukan oleh ukurannya dan muatan listriknya membran kapiler glomerulus lebih tebal dibandingkan membran kapiler lainnya tetapi juga lebih menyerap dank arena itu menyaring pada kecepatan tinggi. Meskipun laju filtrasi tinggi, sawar filtrasi glomerulus bersifat selektif dalam menentukan molekul yang akan di filtrasi, berdasarkan ukuran dan muatan listriknya.
Kemampuan filtrasi 1,0 berarti bahwa zat di filtrasi secara bebas seperti air, kemampuan filtrasi 0,75 berarti bahwa zat hanya di filtrasi 75% kecepatan air.perhatikan bahwa elektrolit seperti natrium, dan senyawa organic yang kecil seperti glukosa, akan di filtrasi secara bebas. Bila berat molekulnya mendekati berat molekul albumin, kemampuan filtrasi akan menurun secara cepat hingga tingkat yang rendah, mendekati 0.
Kemampuan filtrasi suatu zat juga ditentukan oleh muatan molekul. Pada umumnya, molekul besar dengan muatan negative lebih sukar di filtrasi dibandingkan dengan molekul bermuatan positif dengan ukuran molekul yang sama.
Penentuan laju filtrasi glomerulus
GFR = Kf x Tekanan filtrasi akhir
GFR = Kf X (PG-PB-πG+πB)
Keterangan : Kf normal adalah 12,5 ml permenit per mmHg
Tekanan filtrasi adalah tekanan netto yang memaksa cairan keluar melalui membran glomerulus, dan ini sama dengan tekanan glomerulus dikurangi jumlah tekanan osmotic koloid glomerulus dan tekanan kapsula, sehingga tekanan filtrasi normal sekitar 10 mmHg. Tekanan filtrasi akhir mewakili jumlah kekuatan osmotic koloid dan hidrostatik yang menyokong atau melawan filtrasi yang melintasi kapiler glomerulus. Kekuatan ini meliputi :
1. Tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerulus yang menyebabkan filtrasi (PG) sebesar 60 mmHg
2. Tekanan hidrostatik dalam kapsula Bowman ( PB ) yang melawan filtrasi sebesar 18 mmHg
3. Tekanan osmotic koloid protein plasma kapiler glomerulus ( π G) yang melawan filtrasi dan tekanan osmotic koloid protein dalam kapsula Bowman (π B) yang memulai filtrasi sebesar 32 mmHg
Pada keadaan normal, konsentrasi protein dalam filtrat glomerulus sedemikian rendah sehingga tekanan osmotic koloid cairan kapsul bowman dianggap 0.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LFG (GFR)
a. Tekanan arteri, bila tekanan arteri meningkat, ini jelas meningkatkan tekanan di dalam glomerulus, sehingga laju glomerulus meningkat, tetapi peningakatan filtrasi masih di atur oleh autoregulasi untuk menjaga tekanan glomerulus yang meningkat drastic.
b. Efek kontriksi arteriol aferen, pada laju filtrasi glomerulus kontriksi arteriol aferen menurunkan kecepatan aliran darah ke dalam glomerulus dan juga menurunkan tekanan glomerulus, akibatnya terjadi penurunan terjadi penurunan glomerulus.
c. Efek kontriksi arteri eferen, kontriksi ateriol eferen meningkatan tahanan terhadap aliran keluar dari glomerulus dan ini akan meningatkan laju glomerulus dan filtrasinya, tetapi bila penyempitan arteri terlalu besar dan aliran darah sangat terhalang maka laju filtrasi juga akan menurun.
d. Efek aliran darah glomerulus atau laju filtrasi glomerulus, bila arteiol eferen dan eferen berkontraksi, maka jumlah darah yang mengalir ke glomerulus tiap mnitnya akan menurun. Kemudian karena cairan filtrasi dari glomerulus maka konsentrasi protein plasma dan tekanan osmotic koloid plasma dalam glomerulus akan meningkat. Sebaliknya ini akan melawan filtrasi, sehingga bila aliran darah glomerulus turun secara bermakna di bawah normal, maka laju filtrasi mungkin menjadi tertekan secara serius walaupun tekanan glomerulus tinggi.
AUTO REGULASI LAJU FILTRASI GLOMERULUS
Perubahan arteri menyebabkan perubahan jelas dalam pengeluaran urina, tekanan ini dapat berubah dari sekecil 75 mmHg sampai setinggi 160 mmHg, hal ini menyebabkan perubahan yang sangat kecil atas laju filtrasi glomerulus. Efek ini disebut autoregulasi laju filtrasi glomerulus. Ini penting karena nefron memerlukan laju filtrasi glomerulus yang optimum bila ia melakukan fungsinya. Bahkan laju filtrasi glomerulus lebih besar / lebih kecil 5% dapat menyebabkan pengaruh yang besar yaitu kehilangan cairan yang berlebihan ke dalam urina. Eksresi produk-produk sisa yang diperlukan terlalu kecil
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH DAN TERBENTUKNYA URINE
1. Usia
Pengeluaran urin usia balita lebih sering karena balita belum bisa mengendalikan rangsangan untuk miksi dan balita makanan balita lebih banyak berjenis cairan sehingga urin yang dihasilkan lebih banyak sedangkan pengeluaran urin pada lansia lebih sedikit karena setelah usia 40 tahun, jumlah nefron yang berfungsi biasanya menurun kira-kira 10% tiap tahun.
2. Jenis dan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh
3. Life Style dan aktivitas
Seorang yang suka berolahraga, urin yang terbentuk akan lebih sedikit dan lebih pekat karena cairan lebih banyak digunakan untuk membentuk energy sehingga cairan yang dikeluarkan lebih banyak dalam bentuk keringat.
4. Status kesehatan
Orang yang dalam keadaan sehat produksi urinnya akan berbeda dengan orang sakit. Orang yang sakit mengeluarkan urin bisa lebih banyak ataupun sedikit bergantung pada penyakit yang dideritanya.
5. Psikologis
Orang yang cemas metabolismenya lebih cepat sehingga urin lebih cepat dikeluarkan.
6. Cuaca
Bila cuaca panas cairan tubuh lebih banyak dikeluarkan dalam bentuk keringat sedangkan cuaca dingin cairan tubuh akan dikeluarkan dalam bentuk urin.
7. Jumlah air yang diminum
Akibat banyaknya air yang diminum, akan menurunkan konsentrasi protein yang dapat menyebabkan tekanan koloid protein menurun sehingga tekanan filtrasi kurang efektif. Hasilnya, urin yang diproduksi banyak.
8. Saraf
Rangsangan pada saraf ginjal akan menyebabkan penyempitan duktus aferen sehingga aliran darah ke glomerulus berkurang. Akibatnya, filtrasi kurang efektif karena tekanan darah menurun.
9. Banyak sedikitnya hormone insulin
Apabila hormon insulin kurang (penderita diabetes melitus), kadar gula dalam darah akan dikeluarkan lewat tubulus distal. Kelebihan kadar gula dalam tubulus distal mengganggu proses penyerapan air, sehingga orang akan sering mengeluarkan urin.
VOLUME URIN YANG WAJIB DIKELUARKAN
Volume urin yang wajib dikeluarkan individu perharinya (dalam keadaan normal) dipengaruhi oleh osmolaritas minuman atau makanan yang diminum.
Misal: jika kita meminum satu liter air laut dengan konsentrasi 2400 mOsm/L maka volume urin yang dikeluarkan dapat dihitung dengan

Selasa, 02 Juni 2009

sinusitis maksilaris

definisi
sinusitis adalah radang sinus paranasal. dimana sinus paranasal ini merupakan suatu rongga yang berisi udara yang teletak pada tulang cranial disamping hidung yang terdiri dari sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus etmoidalis, dan sinus sfenoidalis.disebut multisinusitis apabila mengenai beberapa sinus dan disebut pansinusitis apabila mengenai seluruh sinus

klasifikasi
berdasarkan letak anatomis sinusitis dibagi menjadi 4 :
1. sinusitis maksilaris
2. sinusitis frontalis
3. sinusitis etmoidalis
4. sinusitis spfenoidalis
sedangkan secara klnis sinusitis dibagi menjadi 3 :
1. sinusitis akut (infeksi terjadi dalam beberapa hari sampai empat minggu)
2. sinusitis subakut (infeksi terjadi beberapa minggu sampai tiga bulan)
3. sinusitis kronis (infeksi lebih dari tiga bulan)

sinusitis maksilaris

peradangan pada bagian sinus maksilaris. sinus maksilaris ini merupakan sinus yang sering terkena infeksi karena :
1. merupakan sinus paranasal yang terbesar
2. letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sehingga drenasenya hanya mengandalkan silia
3. dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi ( premolar (P1, P2), dan molar (M1,M2,M3) bagian atas ) sehingga infeksi gigi dapat mengakibatkan sinusitis maksilaris
4. ostium sinus maksila terletak dimeatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang empit, sehingga mudhh tersumbat.